Rabu, 05 Januari 2011

KRISIS EKONOMI GLOBAL


Latar Belakang Krisis Keuangan Global :
Miss Policy management atau Ketamakan Kapitalisme AS”
Perekonomian dunia kembali guncang setelah pada bulan Agustus 2007 perekonomian Amerika mulai dilanda krisis keuangan yang kemudian lebih dikenal sebagai krisis Subpreme Mortgage. Krisis ini tidak serta merta melanda negeri Paman Sam tersebut, melainkan merupakan buah dari kebijakan ekonomi yang diterapkan Amerika selama 1 dekade terakhir.
Jauh sebelum Subpreme Mortgage melanda perekonomian AS, beberapa tahun silam Amerika sempat mengalami krisis keuangan yang lebih dikenal dengan krisis ‘dotcom’. Pada saat itu, untuk mendirikan perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan IT demikian mudah. Orang hanya perlu menggaransi rumahnya untuk membuka perusahaan ‘dotcom’ kemudian menjual sahamnya ke Wall Street guna mendapatkan guyuran modal dari capital market.
Pelaku pasar kemudian sadar bahwa perusahaan-perusahaan sejenis telah menjamur sedemikian banyak. Hal ini memicu kejatuhan harga saham perusahaan-perusahaan berbasis IT tersebut. Untuk meredam gejolak pasar agar kolepsi tidak berujung pada terjadinya kejatuhan yang dalam maka bank sentral AS (The Fed) menggunakan kebijakan uang longgar melalui penurunan suku bunga dan pencetakan uang lebih banyak agar pasar dibanjiri lagi dengan likuiditas sehingga harga saham perusahaan-perusahaan dotcom tadi naik lagi. Buahnya krisis ini tidak berlangsung lama, ekonomi AS sehat lagi dan “dotcom crise” itu tidak terlalu dalam.
September 2001 terjadi peristiwa serangan teroris yang menghantam jantung pemerintahan Amerika Serikat di New York. Serangan tersebut persisnya meluluhlantakan menara kembar World Trade Center yang hanya berjarak 1 blok dari Bursa Saham Wall Street. Hari itu juga seluruh bursa saham AS ditutup untuk kemudian dibuka kembali setelah satu setengah hari pasca serangan tersebut.
Beberapa hari pasca serangan hampir semua masyarakat bahkan pelaku pasar disana berada dalam situasi mencekam dan mengalami kebingungan harus bertransaksi apa. Untuk menetralisir hal tersebut, sekali lagi ditempuh kebijakan uang longgar untuk menggelontorkan kucuran likuiditas sehingga orang merasa mudah untuk mendapatkan uang.
Demikian kebijakan uang longgar ini sudah terjadi hampir lebih dari 1 dekade. Dampaknya adalah bagi masyarakat, rumah tangga, dan pengusaha AS terlanjur beranggapan bahwa “money is always there, available and cheap.Banyak orang kemudian meminjam uang ke bank. Setiap tahun harga rumah mengalami lonjakan luar biasa karena setiap orang bahkan yang tidak memiliki income dan pekerjaan bahkan tidak mempunyai asset (non income, non job, and non assets / NINJA) bisa mengajukan pinjaman ke bank.
Para NINJA ini bisa datang ke bank, atau bahkan didatangi oleh bank untuk ditawari pemberian kredit akibat melimpahnya likuiditas perbankan. Cukup mencengangkan melihat hasil suatu survey di AS diketemukan bahwa satu rumah tangga disana rata-rata mempunyai 14 macam credit card. Bayangkan kalau dengan credit card tersebut semua orang berbelanja mulai dari beli rumah sampai dengan isi rumahnya.
Tentunya bencana datang ketika tagihan diajukan kepada para NINJA ini, karena tidak mampu melunasi tagihan tersebut akhirnya rumah yang diperoleh dari pemberian kredit di perbankan inilah yang akhirnya disita.
Begitu disita nilai jual rumah tersebut pun kontan menjadi jatuh. Jika dimisalkan nilai pinjamannya US$ 200 ribu ternyata harga rumah setelah disita hanya US$ 100 ribu maka bank rugi US$ 100 ribu. Kalau dari 1 rumah saja perbankan sudah rugi US$ 100 ribu bayangkan jika nilai tersebut harus dikalikan beratus-ratus nasabah yang memiliki kredit macet, maka neraca keuangan banknya jadi bolong.
Di AS kejadian ini diperparah lagi dengan ulah para pelaku financial AS yang menjadikan kolateral pinjaman kredit perumahan tadi menjadi sekuritas yang diperjual belikan sebagai utang baru. Utang-berutang baru ini (derivativenya) terjadi di AS karena begitu shoppisticated-nya instrumen maupun financial engineering disana.
Adanya surat berharga yang menopang kredit perumahan ini (transaksi derivative ) menyebabkan kerugian perbankan tidak hanya pada nilai jual rumah yang jatuh tadi, tapi juga transaksi derivative-nya jadi kosong semua. Hal inilah yang kemudian menyebabkan pailitnya Lehman Brothers yang telah berusia 158 tahun itu.
Kebangkrutan Lehman dipicu ketidakmampuannya melunasi sekitar 60 miliar dollar AS, kewajiban milik anak perusahaan, yang menular ke seluruh lini bisnis Lehman. Kebangkrutan Lehman adalah salah satu kasus pailit terbesar dalam sejarah AS. Padahal, perusahaan itu baru saja dinobatkan sebagai perusahaan dengan pengelolaan terbaik di Wall Street pada 2007 lalu.
Lehman adalah perusahaan yang dikenal atas integritasnya, budaya kerja yang teguh, kerja keras, dan pantang menyerah. Seperti yang dikatakan oleh Richard Fuld, CEO Lehman Brothers pada The New York Times, “Setiap hari adalah perang. Selalu memikirkan perusahaan, melakukan hal yang benar, melindungi klien dan perusahaan, terlibat di dalam, dan menjadi anggota tim yang baik.”
Mengapa perusahaan sebesar dan sebagus Lehman Brothers bisa bangkrut? Padahal Lehman memilki semua sumber daya terbaik. Sumber daya manusia terbaik, budaya kerja, job desk, standard operating procedures, kode etik, dan tentunya juga remunerasi terbaik. Kejatuhan Lehman Brothers, menurut sebagian besar pengamat lebih karena faktor keserakahan, moral hazard. Itulah sebabnya sebagian rakyat Amerika protes ketika pemerintah memberikan dana talangan sebesar 700 milliar dollar AS.
Tadinya perusahaan-perusahaan di walstreet yakin pemerintah AS tidak akan mempailitkan investment house yang sudah lebih dari 150 tahun hidup di AS ini. Ternyata prediksi mereka meleset. Begitu Lehman dinyatakan pailit, langsung seluruh dunia mengalami ketakutan yang luar biasa. ”Ternyata pemerintah AS tidak benar-benar pasang badan untuk perusahaan itu,” mungkin demikian kira-kira anggapan mereka.
Yang menarik, adagium terlalu besar risikonya buat suatu negara mempailitkan bank atau bank investasi besar untuk dibekukan, ternyata bagi Lehman Brothers tak berlaku. Pemerintah AS masih mau membantu Bear Stearns, Merrill Lynch, dan AIG. Goldman Sachs dan Morgan Stanley dengan diizinkan ”bermutasi” menjadi bank komersial, situasi mana tidak berlaku bagi Lehman Brothers.
Imbasnya adalah persepsi pasar pasca dipailitkannya perusahaan sekelas Lehman Brothers yang nota bene juga sebagai salah satu share holders dari 12 share holders The Fed. Ketakutan menjalar ke seluruh dunia selama 1 bulan terakhir. Perilaku ketakutan menjadi tidak rasional, nasabah mengambil semua investasi maupun tabungannya.
Krisispun menjalar ke seantero dunia seperti api membakar rumput kering di padang ilalang. Kejatuhan perusahaan sekuritas keempat terbesar AS, Lehman Brothers, mempengaruhi banyak sekali simpul-simpul finansial di berbagai negara. Transaksi finansial lintas batas negara juga terganggu. Kebangkrutan ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah kebangkrutan AS dengan total utang 613 miliar dollar AS dan aset 639 miliar dollar AS.
Hampir semua pelaku pasar melakukan holding dan itu yang terjadi sekarang ini di capital market. Semua orang melepas surat berharga karena tidak percaya pada issuer-nya. Saat ini mereka hanya percaya pada uang cash, masyarakat AS yang sebelumnya shoppisticated dalam hal penyimpanan uang sekarang naruh uangnya dibantal lagi karena hilang kepercayaan dengan banknya.
Sampai kemudian pemerintah AS menaruh uangnya ke perbankan dan meminta senat untuk membail out ekonomi dan lembaga-lembaga keuangan. Protes di AS merebak, orang mengatakan, “Kenapa kita harus membail out orang-orang Wall Street yang kaya raya?” Persis seperti kejadian di negara kita tahun 1997/1998 silam.
Pemerintah seperti disandera oleh situasi dimana kalau dibiarkan jatuh, masyarakat jadi tidak percaya. Kalau perusahaan yang segitu besarnya saja jatuh apalagi perusahaan lain yang lebih kecil. jadi cost-nya adalah the whole economy.
Tapi kalau pemerintah turun tangan membantu, political sentiment masyarakat yang muncul, “ini perusahaan besar, gaji pegawainya besar, tapi kurang ajar. Selama ini menunggak bayar pajak, masak di bail out juga.” Kira-kira inilah dilema dari policy maker disana, ditambah lagi ada pemilihan presiden Amerika November ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar